“Hei, dari tadi kau belum menjawab pertanyaanku. Aku bahkan belum mendengar suaramu. Kenapa?” aku mendengarkannya dengan tenang. Aku bahkan terkejut kalau dia tak bertanya seperti itu.
Aku hanya tersenyum kembali menanggapi. Kegiatanku tak ku hentikan. Aku terus menyuapinya bagai anak sendiri.
“Jawab pertanyaanku” kali ini aku seakan tak mendengarnya. Walau aku ingin menjawab namun sia-sia. Ia menghentikanku. Ia menahanku. Membuatku menatapnya. Tepat di matanya.
“Maaf.. tapi, apa kau bisu, Nona?”
Aku hanya akan tersenyum menanggapi semua pertanyaannya.
“Kenapa kau membuat toko bunga di tengah pantai begini?” ini sudah kesekian kalinya ia berkunjung kesini. Rumahnya tak jauh ternyata. Bahkan ia lebih sering menghabiskan waktunya di tempat ini ketimbang di rumah sendiri.
“Apa kau suka bunga?” ucapnya lagi. Walau dia tahu aku tidak bisa menjawabnya, tapi dia tetap bertanya. Suaranya bagai alunan indah. Aku bahkan bisa mendengar suaranya di setiap tidurku. Aku senang. Hari-hariku bahkan lebih berwarna. Ia teman yg berharga. Satu-satunya teman yg kumiliki.
Ia selalu bertanya. Ia selalu bercerita. Apapun itu. Walau hanya dia, namun suasana menjadi lain. Apa ini rasanya? Entahlah. Mungkin. Tapi aku memilih untuk menikmati itu. Aku senang ia bercerita. Tentang teman, pelajaran sekolah yg membosankan, guru yg menyebalkan, seakan memberikan dunia baru bagiku.
Ia suka musik. Ia selalu bernyanyi untukku. Suara itu merdu. Suara itu mengisi kekosongan dalam diriku lewat kehadirannya.
“Aku pikir, kau seperti bunga. Indah bila di pandang”