Nyantai : Cukup Sekolah yang ada “Zonasi”, Hubungan kita jangan

Posted on

Kata zonasi mungkin tak asing lagi dielinga kita. Menurut KKBI Zonasi adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan. Tapi sederhananya zonasi adalah pembagian wilayah.

Kata zonasi sendiri mulai trend sejak 2016. Dimana pemerintah menerapkan kebiajakan zonasi ketika pernerimaan siswa  baru. Hal ini bertujuan agar menjadi pendekatan baru yang dipilih pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. 

Kebijakan zonasi sendiri, yakni aturan mengenai wilajah pendaftaran siswa baru yang hanya bisa mendaftar pada sekolah yang dekat dari tempat tinggal mereka. Semakian dekat tempat itnggal mereka maka kemungkinan akan lulus semakin besar

Dengan kebijakan zonasi para siswapun akan berseolah dekat dengan rumah meraka. Tentu saja dengan demikian diharapkan agar proses pembelajar dapat erjalan lebih efektif, dengan jarak antara sekolah dan rumah kian dekat tentu tak ada lagi alasan yang namanya telat kesekolah karena jarak yang terlalu jauh.

Secara tak langsung zonasi juga dapat mengurangi macet dijalanan. Bayangkan saja berapa banyak pelajar yang naik kendaraan sendiri. Jika jarak yang jauh mereka akan semakin banyak melewati jalanan-jalan utama kota tentu akan menambah kepadatan kendaraan.

Namun terlepas dari dampak positif kebijkan zonasi. Masih banyak orang tua yang bingung akan kebijakan hal ini dan tak sseedikit pula yang tak setuju dengan kebijakan. Namun kali ini buakn itu yang akan di bahas.

Biarla kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) menjadi urusan pemerintah. Kita cukup mendampingi dalam pengambilan kebijakan dan mematuhi aturan yang telah dibuat.

Dengan adanya kebijakan zonasi ini di harapkan agar kualtas di tiap sekolah itu sama. Tak ada lagi yang namanya sekolah favorit, sehingga tak ada penumpukan jumlah pendaftar hanya pada sekolah tertentu saja.

Saya selaku penulis Cuma berharap kebijakan zonasi tak pernah ada dalam syarat hubungan. Bayangkan saja betapa lucunya jika kebijakan ini diterapkan.

Orang pacaran Zonasi.

Jadi ketika ingin memiliki pasangan. Terlebih dahulu kita harus mengetahui sejauh mana batasan zonasi dalam mencari pacar. Jangan sampai setelah berjuang PDKT pas nembak. Si cewek akam bertanya,

Co : Aku suka kamu, mau engga jadi pacar aku ?
Ce : sebelum aku menjawab, boleh bertanyak dulu ?
Co : Apa ?
Ce : kamu tinggal dimana ?
Co : (menyebtkan alamat)
Ce : maaf aku tak bisa menerimamu, walaupun aku juga suka kamu
Co : kok gitu, Kenapa ?
Ce : sebab kamu di luar zonasi pacaran aku.

Tentu saja ingin akan menjadi sangat lucu jika kebijakan zonasi di terapkan dalam mencari pasangan.  Bagaimana tidak, bayangkan tidak adanya aturan zonasi saja admin masih jomblo, apa lagi kebijakan zonasi dterapkan jomblo admin akan semakin ngenes dan jumlah jomblopun akan bertambah jika jumlah atara cewek dan cowok di wilajah itu tak seimbang.

Atau ketika ingin menikah

Ketika sang cowok datang kerumah cewek untuk bertemu orang tuanya

Co : permisi om (salaman)
Bapak : iya
Co : begini om, maksud kedatangan saya ingin melamar anak om
Ba : oh niat yang sanagt bagus itu
Co : apakah om merestui ?
Ba : sebelum om menjawab. Saya ingin mengajukan pertanyaan.
Co : silahkan om.
Ba : apakah kamu sudah bekerja
Co : sudah om
Ba : apakah kamu sudah siap menghidupi anak omCo : iya siap om
Ba : pertanyaan terakhir, kamu tinggal dimana ?
Co : (menyebutkan tempat tinggal)
Ba : aduh. Kamu dan anak om ternyata beda zonas. Maaf om tidak bisa menerima lamaran kamu

Bayangkan saja jika ingin melamarpun zonasi diterapkan. Kumpul keberanian untuk ngelamar aja susah dan kumpul dana untuk biaya menikahpun butuh perjuangan extra. Apa lagi jika kebijakan zonasi di adakan dalam hubungan akan tambah brabe jadinya.

Kebijakan zonasi memang hanya perlu ada pada PPDB saja, dalam hubungan sanagt tidak mugkin diterapkan kebijakan zonasi, sebab jodoh seseorang ditentukan oleh tuhan bukan oleh siapa-siapa.