Ada kepingan hati yang telah tertinggal sejak lama disana. Membuat sang pemilik kepingan menjadi tak karuan dengan hatinya yang hilang. Tiap hari tetap memikirkan cara agar kepingan itu kembali lalu mulai dengan hati yang baru. Ada banyak macam hal yang ia lakukan. Hingga ia berada pada titik keputusasaan.
‘apakah aku harus meminta secara langsung?’ pikirnya.
Lelah ia dengan segala reaksi yang tubuhnya keluarkan setiap malam. Sesuatu yang ia benci. Mengeluarkan air mata hingga fajar tiba. Dengan mata yang sembab akan membuat dia malas untuk beraktivitas. Membuat ia malas untuk bertemu dengan orang lain. Reaksi yang terlalu berlebihan memang. Tapi ia tak bisa menolak. Bahkan saat aktivitas itu sudah terjadi sejak lama. Mungkin menyerahkan semuanya pada waktu menjadi langkah yang paling bodoh yang pernah dia ambil.
‘Ataukah selama ini bukan waktu yang salah? Tapi karena aku yang tak ingin untuk melupakannya?’
Mungkin kepingan itu sudah lama kembali tapi dia tak pernah sadar karena terlalu sibuk untuk melupakan.
‘lalu bagaimana lagi caranya untuk bisa melupakannya?’
Aku egois. Tak ingin terlihat jahat dengan memanfaatkan orang lain. Dia tak ingin ada orang lain selain dirinya yang dimanfaatkan hanya untuk melupakan. Dia tahu rasanya. Tahu persis dengan hal itu.
- Baca Juga: Hujan Deras dan Pelangi
Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Tak ada gunanya dia tetap tinggal, menyendiri memikirkan hal yang tidak pasti. Membuang – buang waktu. Bahkan di tengah – tengah pekerjaan yang menumpuk.
‘apa aku harus tetap menunggu kepastian yang tidak pasti?’ pikirnya lagi, sebelum kakinya melangkah keluar tempatnya.
Bukan karena masih berharap. Tapi karena kenangan itu terlalu membekas. Bahkan rasa sakit yang dia terima terima terlalu susah untuk dilupakan.
Dia melangkah mendekat pada kendaraan yang sudah dua tahun ini menemaninya bekerja. Menjadi saksi keresahannya sepulang dari kantor. Kadang menjadi saksi dengan air mata yang keluar saat dirinya mengingat kembali.
‘lebih baik amnesia saja’ dengan perlahan dia menjalankan mobil merah itu.
Pikirannya kalut. Terlebih lagi dengan undangan yang dia terima pagi tadi. Membuatnya memikirkan hal itu sepanjang hari. Hari ini dia terlalu kalut. Bahkan terlalu kalut untuk berkendara. Pikirannya melayang terbang.
Dia sudah menerka-menerka kejadian ini sejak lama. Lalu menyiapkan tindakan apa yang akan dia kerjakan saat hal itu betul menjadi kenyataan.
‘aku pasti bisa. Aku pasti kuat. Dengan begini aku tidak akan mengingatnya lagi’
Tapi apa yang terjadi sekarang dia harus menangis di tengah – tengah meeting yang ia kerjakan. Dia harus menangis di depan semua orang. Membuat beberapa rekan kerjanya bertanya – tanya.
Ingin dirinya berteriak pada pria itu bahwa dia akan melupakannya. Pria itu tak perlu takut atau merasa terbebani dengan perasaan yang dia punya.
Namun dia sadar. Bahwa pertahanan yang dia bangun selama 3 tahun terakhir telah sia – sia. Bahwa harapan yang dia pikir telah dia hapus ternyata masih ada dalam hatinya. Bahwa tinggal sedikit lagi kepingan hati itu akan menjadi utuh kembali ternyata belum kembali sejak dulu. Seluruh hatinya, seluruh kepingan itu masih dimiliki oleh pria itu.
Kenangan itu berputar kembali. Berputar secara tidak beraturan. Membuat air matanya semakin deras dan juga semakin rapuh. Tanpa dia sadari, dia telah melajukan mobil itu dengan kecepatan yang lebih hanya untuk menghilangkan rasa sakit itu.
‘apa lebih baik aku menghilang? Lalu rasa sakit ini akan hilang’ dia menerobos semua yang ada. Tidak lagi menaati peraturan lalu lintas.
“Tin…Tin..”
Hingga suara klakson mobil yang sangat keras menyadarkannya. Kembali pada dunianya. Cahaya dari mobil itu terlalu menyilaukan. Lama. Membuat kesadarannya hilang dalam sekejap.
###
Semuanya serba putih. Bahkan ketika dia mulai membuka matanya, semuanya masih serba putih. Dia melihat beberapa orang dengan wajah yang cemas tengah memandangnya. Lalu merubah menjadi lega ketika ia sadar sepenuhnya.